Wednesday, April 26, 2006

Vita Brevis

“Life is short” that’s the meaning of vita brevis which also a title of a book that amazed me from Jostein Gaarder. Vita Brevis by Jostein is a book, translated from a bundle of letter named as “Codex Floriae”.

Codex Floriae was introduced in a single line “Floria Aemilia Aurelio Augustino Episcopo Hipponiensi Salutem” (Greetings from Floria Aemelia to Aurelius Augustine, Bishop of Hippo).

Floria herself was pressumed in the book Vita Brevis (based on her writing, stories and feelings) as St.Augustine’s concubine. And what shocked me the most was that St.Augustine had been a famous character in catholic culture. He was a famous bishop whose life had been inspiring the life of Catholic Church.

Me, myself hardly know about st.Augustine but all i amazed is his humanity as opposed to he was a saint. In Floria’s letter, she told Aurel (a name she called for st.Augustine when they were lovers) how sad and frustrated she was being deserted and separated not only from her lover, st.Augustine but also their son Adeodatus for st. Augustine’s call (st Augustine said the call as Abstinence).

There came my question …
As I honor the priests of Catholic Church also come along the question of their humanity as men. Have they ever felt anything regarding lust to material things and women? How do they manage those lusts? I mean lust here are not as sin, but as human needs, controlled not by mind but heart.
I know that human beings are not animal, we can control ourselves in public.
But, when we are alone, by ourselves, do the priests feel those lusts?
Or do they just simply saints or chosen people, born with the gift to not feeling the lust but ability to praise the abstinence? (Really?...again in wonder and amazement)
Well...

But, what I applauded the most from the letter is also, the greatest love given from Floria to a man as she said: “Life is so short we do not have time to pronounce any damning judgment on love. We must first live, Aurel, then we can philosophize" That was Floria's answer, with stunning lucidity and sanity to Aurel’s ideas about virtue, sins, chastity, celibacy and the relationship between God and men.

ps: dearly mod, if priests were truly chosen people then I guess we should be burnt in hell.
You, for asking the question (where would you take rm.h.pr if you were in a date?) and for making those “integrated best friend” faces and me, for taking the joke.

Wednesday, April 12, 2006

Intimidasi? Relatif.
Pernah merasa terintimidasi oleh seseorang?
Saya pernah.
Dan saya terintimidasi dengan cara yang aneh, oleh seseorang yang bahkan saya tidak pernah berbicara dengannya melebihi 5 kata.
Yaitu: hai, apakabar? baik, bye! Atau basa-basi seputarnya.
Orang ini juga cuma mengenal saya sebatas nama, dan saya adalah junior di kampusnya.
Saya tidak tahu apakah dia tahu bahwa saya tahu banyak tentang dia.
Saya tahu kami terlibat di sebuah ruang seni yang sama, terlibat di sebuah komunitas yang sama, bahkan terlibat dengan pria yang sama!
Yang berbeda dari kami adalah waktu.
Orang itu lebih cepat waktunya daripada saya.
Dia lebih dulu bergabung dengan ruang seni itu, komunitas itu dan pria itu!
Apa yang membuat saya terintimidasi adalah karena dia memiliki ketertarikan pada hal-hal yang sama dengan saya.
Hingga saya merasa terintimidasi jika saya tidak lebih baik dari dia.
Sering saya membanding-bandingkan dirinya dengan saya.
Atau merasa tertusuk jika pria itu! (yang pernah terlibat dengannya dan saya) bicara tentang dia, walaupun dalam konteks : dia itu sekarang teman saja.
Atau jika sahabat saya (yang lagi-lagi ternyata temannya juga) cerita tentang pacar-pacar orang itu yang adalah “orang-orang besar” di dunia pekerjaan kami.
Aneh. Surreal. (kalau kata sahabat saya)
Rasional yang (nampaknya) tidak rasional (hah?kalimat apapula ini? Paradoks Epimenides kah?) yang saya miliki hingga saat ini adalah: selama saya masih mencintai pria itu! Saya akan selalu terintimidasi oleh orang itu. Walaupun saya tidak pernah terintimidasi dengan “perempuan-perempuan” lain dari pria itu!

Kemarin, orang itu menerbitkan sebuah buku. Kaget luar biasa menerpa saya. Saya langsung terpuruk dan terdorong ke sel kecil bersama intimidasi yang saya ciptakan sendiri tentang orang itu.
Dan saat saya melihat buku orang itu, dengan impulsif langsung saya beli (padahal harganya tidak bisa dibilang murah)
Norak dan konyol! Itu kata sahabat saya.
Buku itu, isinya biasa saja bahkan cenderung dangkal. Berlawanan dengan imajinasi saya saat membayangkan orang itu menulis dan menerbitkan buku.
Tetapi harga yang saya bayar untuk buku itu, sebenarnya cukup murah. Karena selesai membaca buku itu, saya sadar, bahwa waktu itu relatif.
Waktu kami berdua telah bertemu dan sekarang waktu saya berjalan bersisian dengan waktunya.
Tidak ada lagi benturan-benturan yang perlu dirasakan sebagai jengkel.
Saya sudah mematikan intimidasi yang saya ciptakan.
Konsekuensi lanjutan: saya rasa, waktu saya dan pria itu pun sudah lewat.

Born of crazy TVC

Akhirnya, “anak jadah” itu lahir!
Lebih dari sebulan saya dan teman-teman satu team disiksa oleh “anak jadah” itu. Mulai dari animasi yang selalu bermasalah, director yang kabur-kaburan, animator (yang katanya nomer satu di Indonesia itu…) melarikan diri 2 hari sebelum online, sampai klien yang “kampungan” setengah mati.
Alhasil, sebulan ini juga malam minggu gak tenang, libur harus masuk kerja, deg’an setiap ada line test.
Setiap ada masalah kita semua tergelak-gelak dalam kekesalan kita.
Ya…seperti kata Milan Kundera, lupa adalah sebuah kebijakan untuk menghapus penderitaan sesaat dan kita bisa tertawa terbahak-bahak sembari melupakan.
Tetapi bawah sadar, kita tidak pernah bisa melupakan jika belum memaafkan. Maka dari itu, maafkanlah dulu baru lupakan, tetapi jangan lantas jadi lupa dan mengalami hal yang sama lagi (berusaha jangan seperti keledai).
Karena itu, setelah si “anak jadah” ini lahir, dan diterima dengan sukacita oleh orangtuanya (yang mulia klien2) smoga dia bisa menarik perhatian orang-orang disekitarnya dengan kemunculannya, membawa rejeki makin banyak untuk orangtuanya (syukur2 kita kecipratan bonusnya, amin) dan bisa bersanding manis bersama teman-temannya di televisi.
Saya dan teman-teman satu tim, sudah memaafkan dan melupakan semua derita, mengenang yang lucu dan Cuma bisa teriak : GILEEE BENEEER-BENEEER!!!

Teman-teman, suatu hari dalam bulan ini, jika kalian melihat sebuah iklan yang mengucapkan kata-kata “gile beneer!” maka kalian akan mengerti…